Selasa, 05 Juli 2011

Mengenang HUT Kesatu Proklamasi


Serdadu dari divisi India Fighting Cock tentara Sekutu mengepung kediaman PM Sutan Sjahrir di Pegangsaan Timur 56, Jakarta, untuk mencegah jangan masuk orang menghadiri upacara keesokan hari yaitu peresmian Tugu Kemerdekaan yang didirikan di halaman muka. Namun, waktu senja mulai berdatangan gadis-gadis berpakaian putih yang semalam-malaman memasang lilin sekitar tugu bersahaja, kecil, terbuat dari batu dan semen. Rombongan gadis itu bisa lolos menerobos lingkaran serdadu-serdadu Sekutu. Mereka amat bersemangat menghadiri upacara peresmian Tugu Kemerdekaan yang dilakukan PM Sjahrir. Masa itu, Sjahrir disapa akrab dengan panggilan Bung Kecil. Tugu itu bisa didirikan atas inisiatif sekumpulan kaum perempuan yang secara menantang memberi kesaksian atas keberadaan Republik Indonesia yang diproklamasikan satu tahun lalu. Kini Tugu itu, bersama rumah kediaman Presiden dan Perdana Menteri, tempat proklamasi kemerdekaan diumumkan Soekarno-Hatta, telah
digusur atas "petunjuk" Presiden Soekarno. Sepotong sejarah telah hilang. Tiada pernah lagi generasi muda dapat bertamasya melihat-lihat bagaimana rupa dan keadaan rumah tempat proklamasi kemerdekaan diucapkan. Saya tidak hadir pada peresmian Tugu Kemerdekaan di Jakarta karena berada di Yogyakarta menghadiri perayaan HUT pertama proklamasi di Gedung Negara tempat kediaman Presiden Soekarno yang sejak tanggal 4 Januari 1946 bersama Wapres Hatta hijrah dari Jakarta. Naik andong bersama Mien Usmar Ismail, wartawan Belanda Frans Goedhart dan Dolf Verspoor pada malam tanggal 17 Agustus, saya menyisir Jalan Malioboro menuju gedung yang di zaman kolonial merupakan kediaman Gouverneur Adam. Yogyakarta kurang tenaga listrik, jalanan kelam taram temaram. Bendera Merah Putih tidak begitu banyak. Trotoar Malioboro dilalui rakyat yang mondar- mandir. Tiba depan halaman Gedung Negara tampak rakyat yang menonton dari luar. Tidak banyak. Penjagaan polisi tidak ketat. Pengawal presiden seperti zaman sekarang belum ada. Protokol berjalan santai. Kesan umum yang diperoleh ialah serba kesederhanaan, keterbatasan. Segera kami berdiri dalam barisan menunggu giliran menyampaikan selamat kepada Presiden Soekarno dan Wapres Hatta. Acaranya biasa-biasa saja. Presiden mengucapkan pidato, tidak dengan suara menggelora.
Segalanya berlangsung dengan sober atau seadanya. Ruangan tidak terang benderang hingga saya agak sukar mengenali orang. Sugandi, ajudan Presiden, tentu jelas kelihatan, begitu pula Ruslan Batangtaris, ajudan Wapres. Ada saya lihat tubuh gempal Kolonel Djoko Suyono dari Badan Perjuangan, kelak jadi tokoh pemberontakan PKI di Madiun 18 September 1948, beserta pemimpin pemuda Sumarsono yang masih hidup dan kini berdiam di Australia. Saya lihat Boes Effendi dari PRI (Pemuda Republik Indonesia) yang kelak menjadi diplomat. Kedua wartawan Belanda yang ikut bersama saya ialah Frans Goedhart, pemimpin redaksi surat kabar Het Parool, anggota Partij van den Arbeid dan Nazi Jerman. Frans tersohor sebagai penulis dengan nama samaran Pieter ’t Hoen. Dolf Verspoor kendati warga Belanda bekerja untuk kantor berita Perancis, AFP. Dolf pengagum sajak-sajak Chairil Anwar dan kelak memperkenalkan puisi Indonesia kepada publik Belanda dan Perancis. Kedua wartawan itu tidak memakai setelan baju lengkap, hanya mengenakan seragam pantalon kemeja warna coklat muda seperti yang dipakai tentara Amerika. Berangsur-angsur barisan bergerak. Frans Goedhart yang berada di muka sudah berjabatan tangan dengan Presiden Soekarno dan Wapres Hatta. Dolf Verspoor menyusul, tetapi ketika dia mengulurkan tangannya ke arah Ny Fatmawati tahu-tahu Ibu Negara yang memakai kerudung itu tidak mau bersalaman. Dolf yang rupanya mengerti situasi dengan cepat hanya menundukkan kepala sejenak sebagai tanda memberi hormat, lalu berjalan terus. Saya pikir mungkin Ny Fatmawati tidak mau salaman karena Dolf adalah orang Belanda, "musuh kita". Atau mungkin karena Dolf bukan muhrim, dan menurut tafsir fikih tidak boleh bersentuhan secara fisik? Dolf kemudian tidak bicara tentang "insiden" itu. Saya juga diam saja. Sebab, kejadian tadi saya rasakan agak pijnlijk atawa menyakitkan. Frans Goedhart berkomentar atas pidato Presiden, "Fair on met open vizier, zo is Soekarno" (gagah berani dan dengan pandangan terbuka, begitulah Soekarno). Seorang wartawan lain ialah Graham Jenkins dari surat kabar Australia, The Age. Dia tidak bersama saya, tetapi ikut Soedarpo Sastrosatomo dari Penerangan Luar Negeri Kementerian Penerangan yang biasa membawa koresponden luar negeri ke pedalaman meninjau situasi nyata Republik. Graham yang pro-Republik menulis, "Penduduk Yogya masih dapat makanan cukup dan di toko-toko masih bisa dibeli cukup barang. Ongkos penghidupan murah. Jalan-jalan penuh dengan serdadu, tetapi jumlah kendaraan bermotor kurang. Bensin cukup di Republik, tetapi persediaan ban mobil payah". Inilah sekelumit kenangan wartawan tentang keadaan 60 tahun silam, saat saya jadi redaktur pertama harian Merdeka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar